English French German Spain Italian Dutch Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Jumat, 28 September 2012

Jangan Ada Lagi Balas Dendam...

WISNU WIDIANTORO Keluarga, kerabat dan rekan almarhum Deni Yanuar berdoa saat menghadiri pemakaman rekannya tersebut di Tempat Pemakaman umum Menteng Pulo, Jakarta Selatan, Kamis (27/9/2012). Deni adalah siswa SMA Yayasan Kerja 66 yang tewas dalam tawuran antar pelajar sehari sebelumnya.


  Suyanti (44) berusaha tegar melihat jenazah anak tunggalnya, Deni Januar (17), yang perlahan-lahan diturunkan ke liang lahad di Tempat Pemakaman Umum Menteng Pulo, Jakarta Selatan, Kamis (27/9).

Mata Suyanti berkaca-kaca, tetapi ia berusaha sekuat tenaga agar tangisnya tak sampai pecah. Tangis ibu yang kehilangan buah hati. Kehilangan tumpuan harapan.


Beberapa perempuan mengelilingi Suyanti. Mereka khawatir jika ibu tunggal yang membesarkan Deni sejak suaminya meninggal belasan tahun silam itu tak kuat menahan kesedihan. Sehari sebelumnya, Suyanti dua kali tak sadarkan diri lantaran terpukul mengetahui putranya tewas akibat disabet dengan celurit oleh AU (17), siswa SMK Satya Bhakti (Kartika Zeni/KZ), Rabu siang lalu.


Namun, Suyanti yang hari itu mengenakan celana kain panjang dan kerudung corak hijau-hitam sungguh tegar dari awal hingga akhir upacara pemakaman. Ia lebih banyak diam, lalu ikut memanjatkan doa untuk putranya. Tak ada tangis histeris. Tak ada geram marah.


”Saya tidak bisa memberikan komentar dulu,” kata Suyanti saat ditemui seusai pemakaman. Ia memilih menenangkan diri.


Pesan ”emas” Suyanti


Namun, kepada teman-teman sekolah putranya di SMA Yayasan Karya 66, ia sungguh-sungguh berpesan agar mereka tidak membalas dendam atas kematian putranya. Ia ingin mereka mengikhlaskan kepergian Deni. Harapannya, biarkan penegak hukum menegakkan keadilan bagi Deni.


”Saya pesan, jangan melakukan pembalasan kalau kasihan sama almarhum. Jangan lakukan,” tutur Suyanti saat teman sekolah Deni melayat pada Rabu malam, seperti ditirukan Herlan (49), kakak kandung Suyanti, sekaligus ayah angkat Deni.


Menurut Herlan, Suyanti sangat berduka. Ia beberapa kali bergumam, bertanya mengapa Deni meninggalkannya. Hubungan Suyanti dan Deni sangat dekat. Sejak berusia balita, Deni sudah tidak mendapat kasih sayang dari ayah kandungnya yang meninggal karena sakit. Sosok ayah didapat dari Herlan, yang dipanggilnya bapak sejak almarhum belajar bicara. Sesekali Deni bisa sangat manja, bahkan minta tidur di sisi sang ibunda.


”Ia merasakan sedihnya kehilangan anak. Karena itu, ia tidak ingin hal ini juga menimpa orangtua lain. Ia berharap tidak ada lagi Deni-Deni yang lain,” tutur Herlan.


Sejak kecil, Deni tinggal di rumah Herlan di Gang Rusa 4, Kampung Bali, Manggarai, Jakarta Selatan. Di rumah sederhana itu, Deni kecil tumbuh bersama Herlan, istrinya, dua anak Herlan, Suyanti, dan adik laki-laki Herlan. Karena itu, ia tahu persis bagaimana Deni tumbuh dan bersikap.


Deni memang cenderung pendiam, tetapi tak pernah bermasalah. Ia juga rajin mengaji dan shalat. Bahkan, ia kerap berlatih marawis. Ia tak pernah minum minuman beralkohol. Sesekali temannya datang untuk kongko di depan rumah, tetapi pukul 22.00-23.00 mereka bubar.


Di kalangan guru dan teman- teman sekolahnya, almarhum juga dikenal sebagai orang yang tidak neko-neko, bahkan cenderung tak ada masalah. Ia juga dikenal suka berguyon.


Kristin (16), siswi kelas XII IPA, teman dekat Deni, mengenang almarhum sebagai anak yang jahil dan senang bercanda. Kendati berbeda kelas, mereka kerap jalan bersama dengan beberapa teman mereka yang lain, seperti Zaki dan Petra.


”Dia enggak pernah ikut tawuran sama sekali. Orangnya baik banget,” ujar Kristin dengan mata berkaca-kaca.


Ari (30-an), ibu guru bidang studi Geografi di SMA Yayasan Karya 66, mengaku terkejut mengetahui muridnya tewas akibat disabet dengan celurit. Ia tidak menyangka karena Deni dikenal sebagai anak yang tidak suka keributan.


”Kalau prestasi sekolah sedang-sedang saja, tetapi tidak pernah diomelin di sekolah,” kata Ari yang selama hampir dua tahun mengajar Deni.


Sasaran acak

Saat kejadian, Rabu siang, Deni tidak ikut dalam tawuran pelajar, tetapi ia jadi sasaran ”acak” karena permusuhan antara siswa SMK Satya Bakti dan SMA Yayasan Karya 66. Dua sekolah yang sama-sama berada di Jakarta Timur. Beberapa siswa yang ditanyai mengaku tidak tahu akar persoalan konflik itu.


Rabu itu, Deni dalam perjalanan pulang sekolah bersama dua temannya, Zaki dan Petra, di Jalan Saharjo, Jakarta Selatan. Ada pula beberapa siswa SMA Yayasan Karya 66 yang berada di bus yang sama dengan mereka.


Saat bersamaan, ada beberapa siswa SMK KZ sedang nongkrong. Tiba-tiba terjadi saling melempar batu. Siswa SMA Yayasan Karya 66 turun dari bus dan lari, tetapi mereka dihadang siswa SMK KZ yang berada di belakang mereka (Kompas, 27/9).


”Deni mau menolong saya...,” gumam Petra, yang berada hanya beberapa langkah dari liang kubur Deni. Air matanya meleleh tak henti, membuat kedua pipinya begitu basah.


Petra berpostur kurus dan tidak terlalu tinggi. Di sela-sela isak tangis, ia kembali mengulang gumaman, bagaimana Deni menolong, menyelamatkan nyawanya, tetapi justru kehilangan nyawa. Bu Ari mengusap punggung Petra, berusaha menenangkan anak didiknya itu.


Evi (40-an), ibunda Petra, juga hadir dalam upacara pemakaman itu. Ia melihat putranya dari kejauhan. Menurut dia, sejak Deni tewas, Petra terus bersedih, menangis. Ia tak mau berbicara banyak dengan ibunya.


”Setelah kejadian, saya sempat telepon Petra, menanyakan Deni. Namun, ia hanya bilang, ’Karena menyelamatkan Kakak (Petra), dia kena. Jangan telepon Kakak lagi’,” kata Evi.


Menurut Evi, beberapa teman Petra menuturkan bahwa saat dikejar, Petra terjatuh. Deni sudah berlari lebih dahulu. Celurit yang disabetkan AU awalnya hendak ditujukan kepada Petra, tetapi Deni yang berpostur tinggi besar melindungi temannya. Sabetan celurit itu yang kemudian bersarang di tubuhnya dan merenggut nyawa Deni.


”Dia memang orangnya perhatian dan melindungi,” tutur Indah (19), mahasiswi jurusan manajemen di salah satu perguruan tinggi swasta di Jakarta yang juga teman dekat Deni.


Pemimpin Yayasan Karya 66, Binsar E Hutabarat, mengaku tak habis pikir, bagaimana siswa yang tidak bermasalah bisa ikut jadi korban balas dendam tawuran. ”Saya prihatin,” ujarnya.


Ia mengakui, setahun lalu terjadi tawuran antara SMA Yayasan Karya 66 dan SMK KZ. Namun, manajemen sekolah sudah menetralkan suasana.


Semoga saja mata rantai dendam itu bisa diputus sehingga tak lagi ada Deni berikutnya....(Ananda Mustaqim)