Apakah kita sudah benar2 mengetahui dalil dan argumentasi mengenai ikhtilat
(perbauran dengan lawan-jenis)? Kayaknya… belum! Mungkin karena kita
sudah terlalu terbiasa dengan perbauran pria-wanita. Begitu terbiasanya,
sehingga ikhtilat dalam kehidupan sehari-hari jarang kita persoalkan.
Keterbiasaan ini tercermin dalam tayangan televisi.
Bisa kita lihat dengan mata kepala kita
sendiri, terutama di bulan Ramadhan, banyak banget acara pengajian atau
majelis taklim di televisi. Sering tampak, mubalig tampil disertai
sejumlah pria dan wanita yang bukan muhrim. Mereka berbaur di ruang yang
sama tanpa tirai pemisah. Bahkan, ada kalanya sang mubalig (contohnya:
Aa Gym) membawa istrinya berbaur di situ bersama hadirin.
Perbauran yang diperlihatkan secara luas kepada para pemirsa tivi itu terjadi tentu antara lain karena tidak dilarang oleh ulama-ulama yang tergabung dalam Majelis Ulama Indonesia (MUI). Sejauh ini, tidak ada fatwa pengharamannya, kan?
Rupanya, sebagian besar kaum muslimin Indonesia mengikuti ulama-ulama MUI yang membiarkan alias membolehkan perbauran.
Gimana dirimu? Kau juga mau ngikutin hasil ijtihad yang ngebolehin kita berbaur dengan lawan-jenis?
Tunggu dulu! Sejauh ini, kita belum tahu argumentasi ulama yang membolehkan perbauran. Belum mantep, dong!
Supaya mantep, kita cari tahu dulu dalil dan argumentasi ulama, baik
yang mendukung maupun menentang perbauran, lalu kita bandingkan.
Dari kalangan penentang perbauran, kami dapati buku Muhammad Na’im Sa’i, Be Smart with Islam.
(Siapa dia, kami kurang tahu. Kalau kau tahu, beritahu kami, dong!)
Sedangkan dari pendukung perbauran, kami jumpai kitab karya Abdul Halim
Abu Syuqqah, seorang ulama yang aktif dalam pergerakan Ikhwanul Muslimin. Judulnya, Tahrîrul Mar-ah (Kebebasan Wanita). Manakah di antara keduanya yang lebih dapat kita terima?
Yang kami terima adalah fatwa Abu Syuqqah. Alasan kami, argumentasi
Abu Syuqqah tampak lebih kuat daripada argumentasi Na’im Sa’i.
Kenapa argumentasi Na’im Sa’i belum bisa kami terima, nggak usahlah
kami terangin panjang-lebar. Sebabnya, kami “tidak hendak menyalahkan
atau pun menghakimi siapa pun”. Karena itu, cukuplah nanti kami
tunjukkan kuatnya dalil dan argumentasi Abu Syuqqah.
Syaikh al-Ghazali menerangkan: “Kitab [Tahrîrul Mar-ah] ini
mengarahkan kaum muslimin untuk kembali kepada Sunnah Nabi saw. tanpa
ditambah atau dikurangi.” (KW1: viii) Argumentasi di dalam kitab
tersebut, menurut Qardhawi, kuat sekali. Kenapa? Sebabnya, “didukung
oleh nash-nash yang sahih, diambil dari sumber-sumber yang paling
dipercaya dan betul-betul dikuasai oleh penulisnya.” (KW1: xxiii-xxxiv)
Menurut pengamatan Qardhawi, Abu Syuqqah itu “jujur, benar, bersih,
sopan, halus, jenius, dan kritis” serta “seorang muslim yang sangat
konsisten terhadap ajaran Islam”. (KW1: xxv) Sedangkan dalam pandangan
Syaikh al-Ghazali, Abu Syuqqah itu “ulama yang sangat mencintai
agamanya, menghargai ilmu pengetahuan, ikhlas membela yang benar, tidak
suka debat kusir.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar